Pengalaman Pribadi & Karier: Kenapa Saya Beralih Karier Setelah Beberapa Tahun Bekerja
“Kadang, jalan terbaik bukanlah jalan yang lurus sejak awal, tapi jalan yang kita temukan setelah berani berhenti dan bertanya: Apakah ini masih jalan yang tepat untukku?” Beberapa tahun lalu, jika seseorang bertanya kepada saya apa cita-cita saya, saya akan menjawab dengan mantap: bekerja di perusahaan bergengsi, memiliki gaji stabil, dan membangun karier korporat yang mapan. Dan saya berhasil mewujudkannya. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa di balik pencapaian itu, saya menyimpan kegelisahan yang pada akhirnya mendorong saya untuk mengambil keputusan besar: beralih karier secara total.
ARTIKEL
Aco Nasir
7/5/20254 min read
Pengalaman Pribadi & Karier: Kenapa Saya Beralih Karier Setelah Beberapa Tahun Bekerja
Oleh: Aco Nasir
Biro Aksi Unasman
“Kadang, jalan terbaik bukanlah jalan yang lurus sejak awal, tapi jalan yang kita temukan setelah berani berhenti dan bertanya: Apakah ini masih jalan yang tepat untukku?”
Beberapa tahun lalu, jika seseorang bertanya kepada saya apa cita-cita saya, saya akan menjawab dengan mantap: bekerja di perusahaan bergengsi, memiliki gaji stabil, dan membangun karier korporat yang mapan. Dan saya berhasil mewujudkannya. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa di balik pencapaian itu, saya menyimpan kegelisahan yang pada akhirnya mendorong saya untuk mengambil keputusan besar: beralih karier secara total.
Awal Karier: Mengejar Mimpi yang Diajarkan
Lulus dari universitas dengan predikat cumlaude, saya diterima bekerja di sebuah perusahaan multinasional. Saya masuk melalui jalur Management Trainee—jalur yang dianggap prestisius dan menjanjikan. Teman-teman saya menganggap saya “beruntung”, dan keluarga pun bangga. Setiap pagi saya berangkat dengan kemeja rapi, menghadiri meeting, mengelola proyek, dan menapaki tangga karier yang katanya “pasti.”
Saya menikmati tiga tahun pertama bekerja. Saya belajar banyak: manajemen waktu, profesionalisme, kerja tim, dan tentu saja—tekanan. Saya tidak keberatan bekerja hingga malam, tidak keberatan melewatkan akhir pekan, karena saya percaya itu bagian dari proses menuju kesuksesan.
Namun, perlahan muncul pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa saya abaikan. Pertanyaan yang mungkin sederhana tapi mengguncang: Apakah saya bahagia? Apakah ini yang saya ingin lakukan sampai tua? Apa makna dari semua ini?
Titik Balik: Ketika Rutinitas Menjadi Hampa
Krisis datang bukan karena saya gagal, tapi karena saya merasa kehilangan makna.
Setiap hari terasa seperti pengulangan. Saya mulai merasa lelah, bukan karena beban kerja, tapi karena tidak ada gairah. Saya merasa seperti robot yang hanya menjalankan perintah. Saya iri pada orang-orang yang bercerita tentang pekerjaannya dengan mata berbinar. Saya tidak bisa membohongi diri sendiri lagi—pekerjaan ini, sebaik dan seprestisius apa pun, tidak lagi membuat saya hidup.
Saya ingat suatu malam, saya duduk di ruang kerja kantor setelah lembur. Ruangan sunyi. Di layar laptop saya ada presentasi klien besar, tapi pikiran saya melayang. Saya menatap logo perusahaan di sudut dokumen dan bertanya, “Untuk siapa semua ini?” Saat itu saya tahu, sudah waktunya berubah.
Masa Transisi: Antara Ketakutan dan Harapan
Meninggalkan pekerjaan tetap bukan hal yang mudah. Terlebih ketika orang di sekitar mempertanyakan keputusan itu.
“Apa kamu yakin?”
“Nanti makan dari mana?”
“Sayang, kamu sudah di posisi bagus.”
“Cari kerja sekarang susah loh.”
Saya paham, semua itu bentuk kepedulian. Tapi suara hati saya lebih kuat. Saya tidak ingin terjebak seumur hidup di pekerjaan yang tidak saya cintai hanya karena takut gagal. Maka, saya ambil langkah berani: resign.
Awalnya saya hanya ingin istirahat sejenak, mungkin setahun. Tapi di masa itu saya mulai menulis. Sesuatu yang dulu hanya hobi, saya tekuni kembali. Saya mulai membuka blog pribadi, menerima proyek freelance, menulis artikel, bahkan membantu teman membuat konten kampus. Tak disangka, dari situlah jalan baru terbuka.
Menemukan Makna: Berkarier di Dunia Akademik dan Kreatif
Dari menulis blog dan membantu kampus, saya mulai tertarik pada dunia pendidikan dan komunikasi. Saya melamar menjadi dosen luar biasa di sebuah perguruan tinggi. Meskipun gajinya tidak sebesar sebelumnya, tapi saya menikmati setiap pertemuan dengan mahasiswa. Saya juga mengajar mata kuliah yang sesuai minat: Psikolinguistik, Penulisan Kreatif, dan Komunikasi Efektif.
Di luar kelas, saya juga mulai menulis buku. Salah satu buku saya bahkan diterbitkan dan menjadi bagian dari inovasi pembelajaran. Saya juga terlibat dalam hibah penelitian, belajar dunia akademik yang dulu terasa asing. Saya tidak hanya mengajar, tapi juga terus belajar dan berkembang.
Kini, karier saya tidak hanya satu jalur. Saya mengajar, menulis buku, menjadi pembicara di beberapa workshop, bahkan sesekali menjadi konsultan konten. Tidak selalu stabil, tidak selalu mewah, tapi penuh makna. Saya merasa hidup.
Apa yang Saya Pelajari dari Peralihan Karier Ini?
1. Kesuksesan Bukan Satu Bentuk
Dulu saya berpikir sukses adalah punya jabatan, kantor bagus, dan gaji tinggi. Tapi sekarang saya sadar, sukses juga bisa berarti bisa tidur nyenyak karena tidak stres, atau bisa tersenyum karena pekerjaan kita bermanfaat bagi orang lain.
2. Hidup Terus Berubah, dan Kita Boleh Berubah
Tidak ada aturan bahwa kita harus tetap di jalur yang sama selamanya. Kita boleh berubah pikiran. Kita boleh mengevaluasi dan berpindah arah jika memang merasa tidak cocok.
3. Keberanian Mengubah Hidup Dimulai dari Mendengarkan Diri Sendiri
Kita sering sibuk mendengarkan nasihat orang lain, tapi lupa mendengarkan diri sendiri. Hati kita tahu mana yang membuat kita hidup, dan mana yang hanya membuat kita bertahan.
4. Setiap Pengalaman Tidak Pernah Sia-sia
Meskipun saya berpindah karier, ilmu dan pengalaman saya sebelumnya tidak hilang. Justru, latar belakang korporat saya membuat saya lebih disiplin, profesional, dan percaya diri saat mengajar atau memimpin proyek riset.
5. Jangan Takut Gagal, Takutlah Tidak Pernah Mencoba
Saya bisa saja tetap bekerja dan hidup aman, tapi saya tahu saya akan menyesal. Kini, meski jalan saya berbeda, saya bersyukur pernah mencoba.
Penutup: Menemukan Jalan yang Sesuai, Bukan Jalan yang Mudah
Peralihan karier bukan hal yang sederhana. Butuh keberanian, kesiapan mental, dan kadang pengorbanan. Tapi jika dilakukan dengan refleksi dan tujuan yang jelas, peralihan karier bisa menjadi titik balik paling bermakna dalam hidup kita.
Saya tidak menyesali keputusan saya. Saya justru bersyukur pernah merasa hampa, karena dari kehampaan itu saya berani mencari makna. Dan saya menemukannya di tempat yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya: di ruang kelas, di halaman buku, di antara mahasiswa, dan dalam tulisan-tulisan saya.
Untuk kamu yang sedang bimbang di persimpangan karier, izinkan saya mengatakan ini: Tidak apa-apa beralih. Tidak apa-apa mencari ulang. Tidak apa-apa memilih jalan berbeda. Yang penting, jangan berhenti hidup hanya karena takut mencoba.
Tentang Penulis:
Seorang dosen dan penulis yang sebelumnya berkarier di dunia korporat. Kini aktif menulis buku, mengajar, dan terlibat dalam berbagai kegiatan akademik dan kreatif.